Da’wah Kanthi Tresna: Sebuah Otokritik

Hestutomo Restu Kuncoro

An article dedicated to Allah. In honor of the best mentor a very good friend of mine, Arif Dharmawan.

Pemikiran atau ide tentang hal ini muncul kira-kira 3 tahun yang lalu. Awal kemunculan pemikiran ini adalah sebuah pesan singkat yang dikirim oleh seorang adik kelas ke ponsel saya. Isi pesan ini kurang lebih adalah seperti ini, “Mas, kenapa sih mbak-mbak rohis (baca: aktivis da’wah) itu bisa bener-bener ramah sama temenku yang anak rohis juga. Tapi entah kenapa nggak bisa hangat kalau sama orang yang notabene bukan anak rohis. Kalau misalnya aku lg jalan sama akhwat rohis, pasti disapa dengan hangat. Tapi kalau misalnya aku jalannya sama temenku yang bukan anak rohis, kok rasanya dicuekin” Berawal dari kejadian itu, sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran saya waktu itu, Kenapa?

Pencarian jawaban atas pertanyaan satu kata itu membawa saya pada banyak alternatif analisis. Salah satu jawaban yang masuk diberikan oleh seorang AD (aktivis da’wah) di kampus tempat saya kuliah saat ini. Jawabannya: “Mungkin, ada kecenderungan di antara para AD untuk tidak bisa berbaur dengan orang-orang yang notabene bukan AD sebaik mereka berbaur dengan sesama mereka. Begitu mendapatkan jawaban ini, pikiran saya kembali ke sebuah permasalahan klasik di pergerakan da’wah SMA: kenapa para AD akhwat lebih sering menghabiskan waktu istirahat sekedar bersama dengan mereka yang notabene juga AD ?

Bukan tindakan bijaksana terburu-buru mengambil kesimpulan. Namun saya rasa cukup adil ketika saya mengambil kesimpulan bahwa MEMANG ada tembok imajiner yang “membatasi” kehidupan para AD dan mereka yang notabene belum aktifr dalam pergerakan da’wah, terlepas dari perbedaan ketinggian dan ketebalan tembok itu antara satu medan da’wah dan medan da’wah lain. Namun saya tidak ingin menyatakan bahwa eksistensi tembok ini adalah sebuah kesalahan atau sesuatu yang perlu dihilangkan. Karena, eksistensi sebuah tembok imajiner dalam interaksi sosial maupun individu adalah sebuah keniscayaan yang wajar adanya. Sebagus apapun kita berbaur dengan manusia lain, selalu ada hal yang membuat kita tidak bisa menghabiskan seluruh kehidupan kita bersama orang lain, bahkan bersama pasangan kita sekalipun. Dalam kehidupan pribadi tembok itu kita kenal sebagai “hal-hal privasi” Dalam kehidupan sosial, tembok itu punya banyak jenis dan rupa. Itu semua bukan masalah, selama ketinggian dan ketebalan tembok itu masih ideal dalam batas kewajaran dan tidak mengganggu kebutuhan untuk berinteraksi.

Tembok itu menjadi masalah ketika kondisi tembok itu, entah karena atribut ketinggian atau ketebalan, menghalangi terbentuknya kondisi interaksi sosial maupun individu yang ideal. Banyak hal yang mampu menjadi alasan ketidak idealan tembok imajiner sosial itu. Dalam kasus yang sedang kita bicarakan (Aktivis da’wah dan orang-orang yang belum aktif dalam da’wah), banyak hal yang mungkin menyebabkan terjadinya tembok itu, di antaranya mungkin perasaan eksklusif yang tidak disadari hadir dalam proses hijrah, ketiadaan keinginan untuk memahami pemikiran dan perasaan orang lain, tidak adanya keterbukaan, dan hal-hal lain.

Bagaimanapun juga, terlepas dari kenapa tembok itu bisa hadir, saya mencoba mengawang-awang kondisi ideal interaksi sosial dalam pergerakan da’wah. Ketika kondisi tembok itu tidak sesuai dengan persyaratan ideal, saya melihat penyebab utamanya bukanlah teknik interaksi sosial antara AD dan non-AD. Saya meyakini bahwa ketika ketidak-idealan interaksi sosial terjadi, hal itu disebabkan oleh seuatu yang sifatnya lebih mengakar, lebih mendalam dan lebih mengontrol.

Apa yang saya maksud dengan sesuatu yang lebih mengakar itu adalah motif. Jadi, ketidak idealan itu terjadi karena adanya disorientasi motif yang hadir tanpa disadari. Disorientasi motif itu ada kemungkinan hadir dalam proses asimilasi AD ke dalam wadah atau badan. Saya pernah mendapati kasus seorang individu yang begitu yakin bahwa niatan yang ia bawa adalah niatan yang lurus, namun dalam diskusi kami kami menyadari bahwa ada sedikit disorientasi motif dalam sepak terjangnya: melanggengkan hegemoni badan atau wadah.

Keinginan untuk melanggengkan hegemoni sebuah badan atau wadah sarana da’wah dapat dengan mudah di-misinterpretasikan. Bukan berarti bahwa keinginan untuk melanggengkan hegemoni sebuah lembaga da’wah sebagai sesuatu yang salah, sama sekali bukan. Motif itu akan dapat tetap terkategori sebagai “niatan yang lurus” selama di balik niatan itu tidak lebih hanyalah keinginan agar bendera da’wah dapat terus berkibar, jika begitu keadaannya maka tidak masalah. Hanya saja, seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, niatan ini punya kecenderungan untuk di-salah artikan dengan sangat-sangat mudah. Motif melanggengkan hegemoni sebuah lembaga da’wah dapat dengan sangat mudah menggeser paradigma orientasi da’wah para aktivis da’wah yang ada di dalamnya. Skenario paling buruk dari pergeseran paradigma ini adalah kecenderungan para aktivis da’wah untuk fokus pada hasil alih-alih pada proses.

Terkadang, tanpa disadari sepenuhnya oleh para AD, usaha da’wah yang mereka lakukan terlalu memaksakan untuk mengejar “target” lembaga da’wah tertentu. Hasilnya, terkadang niatan para AD cenderung manipulatif dan tidak menyerang akarnya. Apa yang saya maksud dengan manipulatif adalah proses berpikir “saya pingin ngeliat orang ini jadi kaya gini”, tanpa keinginan secara penuh untuk memahami pemikiran dan perasaan orang tersebut. Efeknya dalam tindakan, sikap ramah parsial (seperti telah dibahas sebelumnya), bersikap ramah (atau perbuatan lain yang juga menarik simpati) dengan motif agar orang tersebut simpati kepada para AD dan mau menerima pemikiran yang dibawa oleh AD. Para AD sering tidak menyadari ini sebagai suatu misplaced-action karena karakter tindakan seperti ini yang nampak begitu smooth dan non-manipulatif di luarnya. Well, tindakan seperti ini memang nampak smooth dan clean di luarnya, tapi sangat disayangkan motif sikap ramah itu sendiri pada awalnya manipulatif: agar orang yang kita perlakukan dengan ramah mau menerima pemikiran yang kita bawa.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah lalu bagaimana seharusnya? Dengan rendah hati dan menyadari semua kealpaan saya sebagai manusia, saya ingin mencoba mengawang-awang sistematika yang ideal harusnya seperti apa.

Pertama dari tujuan, saya rasa semua AD sudah sangat paham tentang hadits pertama dalam kumpulan 40-an hadits yang dikompilasi oleh Imam Nawawi: tujuan  hanyalah Allah. Berawal dari niatan yang begitu mulia ini, AD harus memahami bahwa parameter keberhasilan AD sebagai hamba Allah dalam berda’wah bukanlah capaian fisik sistem da’wah. Lebih jauh harus dipahami bahwa tanggung jawab AD dalam berda’wah adalah mengajak BUKAN MENGUBAH. Tujuan akhirnya memang adalah perubahan individu yang berujung pada hijrahnya sebuah peradaban. Namun sangat tidak bijaksana jika dalam usaha mengejar hasil, AD mengabaikan mengabaikan sebuah prinsip penting.

Prinsip penting yang saya maksud adalah keinginan untuk memberikan yang terbaik pada objek da’wah AD (yang sebenarnya bukan objek sama sekali). Pelanggaran prinsip ini sering berujung pada tindakan manipulatif di mana AD terlalu fokus pada capaian akhir fisik (dalam usaha menghadirkan kekuatan dalam lembaga da’wah sehingga lembaga da’wah itu dapat memepertahankan hegemoninya), tanpa memperhatikan secara tulus pribadi objek da’wah yang bersangkutan. Contoh yang kongkret sudah saya bahas sebelumnya: tindakan simpati manipulatif dalam usaha mencapai tujuan akhir itu.

Seharusnya menurut saya, prinsip ini dijalankan secara sinergis dengan tujuan da’wah dan tanggung jawab AD dalam da’wah itu sendiri. Inilah prinsip yang saya sebut dalam judul sebagai Da’wah Kanthi Tresna, sebuah kalimat bahasa jawa yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maknanya Da’wah Dengan Cinta. Aplikasi prinsip ini adalah sebuah kesadaran sepenuhnya akan hakikat kita sebagai hamba Allah dan kewajiban kita untuk mencintai sesama muslim maupun hamba Allah, karena Allah. Lebih lanjut, ketika kita mampu mencintai orang lain karena Allah, sudah menjadi hal yang lumrah ketika kita mengharapkan yang terbaik untuk orang-orang yang kita cintai. Dan hal yang terbaik untuk semua hamba Allah, tanpa perlu disangsikan, tentu saja kedekatan dengan Allah. Dalam usaha memeberikan yang terbaik untuk orang-orang yang kita cintai, kita akan mengajak mereka untuk dekat dengan Allah, tentu saja dengan berda’wah. Jadi motif da’wah kita seharusnya tidak lebih daripada sekedar bentuk eksppresi cinta kita (yang hadir karena Allah) kepada saudara-saudara kita sesama muslim dan sesama hamba Allah, sebagai sinergi motif utama kita mengharap ridhoNya.

Jika proses berpikir AD dilakukan dengan cara seperti ini, insyaAllah tidak akan ada lagi pemikiran maupun tindakan manipulatif dalam mencapai capaian fisik sebuah sistem da’wah. Simpati yang hadir dalam diri objek da’wah kepada AD hadir sebagai bentuk tanggapan otomatis stimulus cinta yang hadir dari dalam diri AD kepada orang-orang yang dida’wahi. Dalam aplikasinya, ketika AD bersikap ramah dan hangat kepada objek da’wah, tindakan itu didasari secara penuh dan secara tulus sebagai ekspresi cinta. Kehadiran cinta dalam da’wah juga akan menghadirkan keinginan untuk secara tulus mendengarkan dan memahami pemikiran serta perasaan objek da’wah oleh AD.

Lalu apakah salah menetapkan capaian fisik dalam da’wah ? Tidak, sama sekali tidak, selama capaian fisik itu dibuat tidak lebih daripada sekedar sistem untuk mengevaluasi metode. Namun  satu hal yang perlu diperhatikan, jangan sampai capaian fisik itu menjadi acuan utama tindakan da’wah para AD sehingga melupakan urgensi hadirnya motif cinta dalam pergerakan da’wah mereka.

Wahai saudaraku, mari belajar mencintai saudara-saudara kita secara tulus. Ketika berda’wah, hadirkan motif karena kita menginginkan yang terbaik untuk saudara-saudara kita… Kedekatan dengan Allah…

Wallahu’alam bishowab

12 responses to “Da’wah Kanthi Tresna: Sebuah Otokritik

  1. Tahafut at Tahafut: Sebuah Tanggapan

    “Da’wah, hanya ada satu jalan (ilALLAHi). Kita harus meminjam darinya, baik mawar maupun durinya sekaligus”.(Rowahu Arif)
    (In da’wah, there is only one way. We must borrow from da’wah with both, its rose and its thorn)

    Pandangan Antum tentang hal-hal seperti ini tenyata tidak berubah dari dulu. Menjadikan aktivis da’wah sebagi pesakitan (ini yang saya kurang setuju), kemudian mengusulkan pandangan-pandangan baru.

    Meskipun dinamakan otokritik, tapi saya masih bingung posisi Antum di mana. Ketika Antum di SMS, Antum seakan-akan orang di “luar benteng da’wah”. Ketika memberikan kritik/pandangan-pandangan, Antum terasa berada di atas benteng yang coba Antum imajinerkan. Dan ketika memberikan solusi, baru terlihat Antum sebagai orang “dalam” benteng.

    Ada beberapa tanggapan mengenai pandangan di atas. Namun pembahasannya akan saya coba sederhanakan tanpa menghilangkan substansi:
    1. Jelas, kita saat ini berkelompok-kelompok/firq (beda madzab, identitas, negara, organisasi, gerakan da’wah, dsb). Mungkin maksud Antum dengan “dis-orientasi motif” adalah bahwa da’wah hanyalah mengenalkan kelompok da’wah, membesarkan fisik kelompok sehingga da’wah dikatakan berhasil dilihat dari nilai-nilai kuantitas.
    2. Kita harus menemukan identitas kita sebagai muslim. Dalam arkeologi kita kembali ke salafussholih, dalam hal cinta keluarga nabi kita bisa mencontoh syi’ah dan dalam konteks cinta kita meneladani sufi. Jelasnya, kita harus ittiba, bukan taklid buta. Kalau kelompok-kelompak bisa kembali ke ajaran Nabi, kita bisa menerapkan keindahan pluralisme di sini. Yang bermakna “Organizations of da’wah are valid ways to the same civilization.” The Islamic Civilization..
    3. Dalam hal kemanusiaan, kita adalah universal. Jangankan sama yang “tidak demo”, sama non muslim saja kita harus tetap baik. Saya belum dengar cerita: Rumah Sakit PKU muhammadiyah menolak pasien hanya karena dia orang NU. Kita berharap aktivis da’wah adalah rahmah lil ‘alamin. Tanpa melanggar batas-batas syariat.
    4. Selalu menempatkan aktivis sebagai pesakitan dan pihak yang selalu tidak ideal adalah sangat absurd dan tidak bijak. (Dalam konteks ini saya bukan aktivis, ntar dikira membela). Meski begitu, bukan berarti selalu ada ditoleransi.

    The last, kayaknya ada beberapa pandangan Antum ngadopsi pemikiran Ulil Abshor ya?wakakakak… Ada istilah “benteng”, “interaksi social”, “tembok”. Dengan sedikit membenturkan antara ahludda’wah dengan orang-orang di luarnya. Atau semacam dikotomi antara ahludda’wah dengan interaksi sosial. Bercanda ding. Tapi ada benarnya juga, asal jangan sampai merobohkan tembok antar agama, tembok antara hizbullah dan hizbussyaiton, tembok antara si kafir dengan mukmin, maupun tembok antar si kaffah dan si sekuler.. Karena hal tersebut ibarat mengawinkan surga dengan neraka. Astaghfirullah. Wallahu a’lam.

  2. Subhanallah, jazakallah khair buat mas Arif “Dharmo” Dharmawan.

    Seperti biasa juga, antum selalu menanggapi dengan comment yang sifatnya “tengah-tengah”

    Tapi dari comment antum, saya menyadari satu hal yang menurut saya telah saya bawakan dengan salah, memposisikan AD sebagai pesakitan… Tapi memang selalu begitu dari dulu ya…

    sebenarnya itu nggak lebih daripada ekspresei cinta seorang saudara ke saudara yang lain. Hanya saja, mungkin diekspresikan secara absurd. Afwan…

    Untuk substansi comment sendiri nggak ada yang bermasalah menurut saya, Kecuali paragraf terakhir.

    Bukan dikotomi sebenarnya, tapi sebuah identitas keunikan setiap individu adalah tembok interaksi individu itu dengan individu lain atau kelompok sosial. Kalau kita ingin menghilangkan tembok itu, cara paling mungkin adalah mencetak manusia yang “serba-sama”, tidak punya keunikan dan kepribadian yang seragam. Tapi bukan itu makna tsibghah kan?

    Oleh karenanya, tembok itu akan selalu ada, bahkan sahabta terbaik pun punya hal yang tidak saling mereka ceritakan. Makanya, selama tembok itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (yang kalau dalam bahasa Antum mengawinkan surga dan neraka) itu bukan masalah. Inti dari tulisan saya adalah saya takut saudara-saudara kita melupakan orientasi utama da’wah ini bukan pada jama’ah atau golongan, tapi pada Allah.

    Wallahu’alam bishowab

  3. terima kasih sharing info/ilmunya…
    saya membuat tulisan tentang “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya?”
    silakan berkunjung ke:

    http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/mengapa-pahala-tidak-berbentuk-harta.html

    salam,
    achmad faisol
    http://achmadfaisol.blogspot.com/

  4. Weleh-weleh, wong loro lara kabeh 😛 Hehehehe

    Btw kowe mbiyen ngopo Tom neng kelasmu, rame dibahas neng milis KATY je 😦

  5. Aku ngapa neng kelasku? mbuh, paling kegilaan seputar nikah? mecahin OHP? Nggodani wong-wong?

    emange dibahas priye ?

  6. Wah, tom serius bgt,, sip2, ilmu berharga,,,

    Yog, kae, mesti sing nendang OHP nganti tiba!!

    mak KROMPYANGGGGG!

  7. @yoga: sing aneh ki tomi. aku mung ketularan. hehe

  8. iya nih kadang2 kader2 dakwah itu terasa eksklusif bgt gaulnya ama yg ntu2 aja ga mau gabung sama yg bukan aktivis….

    kerasanya sih kalau pas sma lumayan juga sih, terutama emang akhwat…
    (pandangan yg mungkin terlontar dari orang luar lho)
    kalau di kampus wan nda tau awak, soalnya belum pernah mengamati fenomena ini.

    Tapi sebenarnya kalau si orang luarnya mau masuk juga rasanya dia pasti akan menemui hal yg berbeda.

    Tak kenal maka ta’aruf ,don’t judge the book by the cover, open minded!

  9. yak tul tul….

    koyone pancen Tomi…

    (geleng-geleng,,,)

  10. katanya mau posting lagi??
    bukumu piye??

  11. Hohoho…
    SEMANGKAAAA….

  12. ki kayane artikel lawas to?? dipublish meneh??

Leave a reply to Prib Cancel reply